Menurut keterangan sesepuh pada
daerah ini, Sokobanah termasuk berada di bawah panembahan Bangkalan yang berada
di perbatasan antara Bangkalan dan Pamekasan. Pada saat itu sebagian rakyat
tidak setuju pada pemerintahan Bangkalan, kemudian mereka melakukan kerusuhan
antar rakyat yang pro dan anti panembahan Bangkalan. Keadaan di sukosodho terus
menerus tidak aman dan semakin parah, akhirnya panembahan Bangkalan melakukan
penjagaan yang terdiri dari pasukan/prajurit (Pajinaman) dan semua penjaga yang
ada di Sokobanah.
Kepala dari kerusuhan tersebut
ialah Djaga Sagatra (Djaga Satra bersaudara), sedangkan prajurit penjaga
keamanan berada dibawah pimpinan seorang tumenggung bersama-sama rakyat yang
pro padanya dengan serentak mengadakan penangkapan terhadap Djaga Sagatra. Tak
lama dari kejadian tersebut dengan diam-diam Djujuk Sagatra dan Sagatro (Djaga
Sagatro) ditangkap oleh prajurit yang datang secara sembunyi-sembunyi kemudian
ditawan ke Bangkalan.
Sedangkan saudaranya yaitu Sraba
(Djaga Sabra) melarikan diri keselatan dan menurut para sepuh, beliau menuju
Batu ampar, Omben Sampang yaitu yang terkenal dengan Bujuk Kenanga. Menurut
keterangan orangtua yang ada disini ada pesan dari para sesepuh, jika ada
diantara keturunan Djujuk berselisih dengan orang omben batu ampar untuk jangan
di gubris karena khawatir mereka masih satu keturunan. Akhirnya saudaranya yang
termuda dan keluarga lainnya ingin sekali mendengar duduk perkara kedua saudara
mereka yang ditawan oleh panembahan Bangkalan.
Empat bulan dari tertawannya
Djaga Satra dan Djaga Satro saudara mereka yang termuda (Djaga Astra) bersama
dengan keluarganya pergi ke Bangkalan menggunakan perahu.Menurut orang yang
memberi kabar tersebut, setelah tawanan tersebut menderita kesakitan akhirnya
mereka berdua minta kepada para perajam yaitu saudara tertua (Djaga Satra)
minta ditikam dibawah kemaluannya sedang saudara yang satunya (Djaga Satro)
minta ditikam dibawah ketiaknya hingga meninggal.Setelah mendengar yang
demikian itu, saudara termuda (Djaga Astra) mempunyai pendapat untuk menghadap
panembahan guna mohon ijin agar jenasah dibawa ke Sokobanah.
Pada waktu penggalian orang-orang
turut meyakinkan dan menyaksikan kagum, sebab jenasah kedua tawanan Djaga satra
dan Djaga Satro tersebut, walaupun mereka sudah dikubur lebih dari 5 bulan,
jasadnya masih utuh dan tidak membusuk, kemudian setelah itu diangkat keperahu
yang sudah disediakan. Akhirnya dawuh para sepuh kita bersaudara, saudara
Sagatra yang termuda yang kita sebut dengan Djujuk Labang oleh panembahan Bangkalan
diangkat menjadi kepala Maduratan Labang (pintu gerbang) didaerah Sokobanah dan
daerah bagian atau kekuasannya ada di kecamatan Sokobanah sekarang hingga
kedesa Paleh Ketapang.
Pangkat labang pada zaman
panembahan berat sekali karena tanggung Madurabnya disegala bidang, baik
keamanannya maupun perekonomiannya dan tempat tinggal Djujuk labang tepat
disebelah timur pemakaman Batu Tampe. Dan menurut keterangan para sepuh, tepat
didepan rumah Djujuk Labang diberi pintu gerbang sebagai tanda rumah Maduratan
labang.
Pintu (Labang) tersebut ada yang
menjaga baik siang maupun malam, bila malam pintu gerbang tersebut ditutup dan
berarti siapapun jika malam tidak diperkenankan berjalan terus dan harus
menunggu hingga siang hari. Ario Djaga Astra tersebut diangkat oleh panembahan
Tjokroningrat ke V Bangkalan tahun 1747 M sebagai kepala Maduratan labang,
yaitu pintu gerbang perbatasan kraton Bangkalan dan Sumenep.
Sebagai hadiah pada beliau kerena
bisa mengamankan pemberontakan yang ada di desa Suko sodo, atas jasa djujuk
kita (R, Djaga Astra) itulah maka daerah tersebut diberi nama Soka Ba”nah (Suka
kamu) dan oleh Djujuk kita kekuasan tanah pemberian ini diberi nama Soka banah
yang sekarang menjadi nama kecamatan Sokabanah.
Karena wilayah Sokobanah sangat luas maka para sepuh di
wiliyah ini yang sebagian besar beragama islam menyebutnya Wa`atubuilaihi yang
artinya at-taubat sehingga daerah ini diberi nama Tobai.
0 Comments